Romantisme: Sebuah Infeksi Pada Afeksi

Adhimantara I. N
12 min readDec 1, 2020

When one is in love, one always begins by deceiving one’s self, and one always ends by deceiving others. That is what the world calls a romance — Oscar Wilde

Ombres Portées (Cast Shadows) oleh Emile Friant, 1891

When I see your face
There’s not a thing that I would change
’Cause you’re amazing
Just the way you are
” — Bruno Mars

Ini adalah sebuah romantisme. Bruno Mars adalah seorang romantik. Bruno Mars adalah kita.

Entah kita sadari atau tidak, setuju atau tidak setuju, konsep yang kita amini pada gagasan tentang “Cinta” datang dari cerita novel, lakon, lagu, film, dan lain sebagainya. Karya-karya seni ini memiliki tanggung jawab yang besar dalam membentuk persepsi kita tentang konsep “Cinta”. Bekerja seperti doktrin lainnya, romantisme menyusupi berbagai elemen kehidupan pada masyarakat tanpa kita sadari.

Belum lama ini saya bertemu kawan lama yang baru saja menyelesaikan pendidikannya. Lama tak jumpa, perbincangan kami meliputi segala hal tak terkecuali masalah percintaan tentunya. Kawan saya bercerita tentang bagaimana ia mendambakan seorang kekasih, namun kesulitan mendeskripsikan ketika saya menanyakan tentang kriteria yang ia dambakan.

“Yang penting dia punya pekerjaan yang genah dan seiman. Pokoknya aku akan tau kalo dia adalah jodoh ku, intuisi ku akan mengatakan kalo dia adalah orang yang aku cari selama ini” katanya menjelaskan tentang menikah adalah salah satu pencapaian dalam hidupnya. Setelah itu kawan saya menceritakan gagasan-gagasannya tentang bagaimana sebuah pernikahan akan mengakhiri rasa kesepiannya dan memiliki anak akan membuat ia menjadi seorang perempuan seutuhnya.

Keluhan berbeda lagi datang dari kawan-kawan saya yang telah memiliki pasangan-baik yang sudah menikah atau belum-, mereka mengeluhkan tentang pasangannya yang tidak memenuhi kebutuhan finansial, pasangannya tidak dapat mengerti apa yang ia inginkan (padahal sudah lama bersama), pasangannya tidak dapat menerima dia apa adanya, pasangannya tidak dapat menjadi seperti yang ia inginkan, mengeluhkan betapa berantakannya kamar pasangannya, abu rokok yang bertebaran di rumah mereka, cucian piring yang telah menjadi trumbu karang, mengeluhkan pasangan mereka terlalu to the point tetapi disisi lain mengeluhkan pasangannya terlalu bertele-tele atau bahkan ‘kalo ngomong nggak jelas’.

Permasalahan-permasalahan yang membuat saya bertanya-tanya ‘ini mereka langsung kawin apa gimana dah, pake pacaran dulu ngga si’. Saya dapat memahami mereka kesulitan untuk menghadapi masalah yang krusial seperti finansial, tetapi meributkan hal seperti “terlalu to the point” membuat saya mengangkat alis, karena si -katakanlah-“Jarot” yang merupakan pasangan si -katakanlah-“Jum” memang tipe orang yang straight forward. bagaimana mungkin Jum baru mengetahui tentang itu?

Belum lagi cerita-cerita tentang drama perselingkuhan yang memang biasa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, bahkan Bandung dan Surabaya. Drama ini tidak hanya terjadi pada kawan saya yang memiliki usia pernikahan yang sudah cukup lama tetapi juga dialami oleh kawan yang baru menjalani kehidupan pernikahan tidak sampai seusia hidup hamster. (fyi umur hamster itu 3 tahun. info penting)

Argumen singkat saya adalah hal-hal ini terjadi karena pemahaman kita tentang “Cinta” (anzae geli dah) yang telah dibentuk oleh konsep Romantisme tadi. Bentuk “Cinta” yang kita pahami menjadi sempit, kaku, dan sering kali di luar nalar karena didasari oleh emosi dan insting kita sendiri yang impulsif tanpa mempertimbangkan realita yang ada.

Jadi, sebetulnya apa Romantisme itu?

*Disclaimer: sebelum kita membahas lebih lanjut, saya ingin mensubtitusi kata “Cinta”, “hubungan percintaan”, dan kata-kata yang ada cinta-cintanya dengan padanan kata “Afeksi”. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi saya dari serangan-serangan masyarakat yang berpahaman bahwa lelaki (apalagi berkumis dan berjenggot, mukanya kek begal) adalah tabu untuk membicarakan hal menye-menye seperti cinta. Pada konstruksi sosial gender kita mengisyaratkan bahwa patutnya lelaki membicarakan sesuatu yang dianggap maskulin seperti pertandingan basket NBA kemarin malam atau liga sepak bola eropa, jadi mohon dimaklumi*

Romantisme adalah gerakan artistik dan intelektual yang muncul pertama kali di Eropa Barat pada pertengahan abad 18 dan terdapat pada pekerjaan para seniman dan filusuf pada jaman itu. Konsep ini segera tersebar luas ke seluruh dunia dan mengubah cara pandang masyarakat dunia dalam memandang alam, anak-anak, uang, seks, pekerjaan, dan cinta. eh afeksi.

Romantisme bisa dikatakan adalah reaksi dari perubahan dunia yang menjadi modern; revolusi industri, konsumerisme, kapitalisme, urbanisasi, dan sekularisasi. Selain itu, konsep ini juga merupakan perlawanan terhadap era sebelumnya yaitu “The Age of Enlightment” atau Abad Pencerahan yang mendominasi Eropa Barat pada abad 17–18 yang menjunjung tinggi nalar sebagai kunci pembebasan dari segala bentuk dominasi, dari ketidaktahuan dan ketidakdewasaan hingga kemiskinan, ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial seperti yang digadang-gadangkan oleh para pemikir besar pada masa itu seperti Immanuel Kant dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

Novel The Sorrows of Young Werther

Pada tahun 1774, penulis Jerman Johan Wolfgang Von Goethe menerbitkan sebuah novel yang sangat mewakili konsep romantisme pada literatur yang menceritakan tentang afeksi; “Die Leiden des jungen Werthers” atau “The Sorrows of Young Werthers”. Kisah ini menceritakan tentang gairah afeksi yang terlarang antara penyair muda bernama ‘Werthers’ dan seorang wanita muda cantik nan terdidik yang berasal dari kelas atas bernama ‘Charlotte’. Namun naas bagi Werthers, Charlotte adalah bini orang yang menjadikan afeksi Werthers kepada Charlotte adalah hal yang, bukan saja tidak mungkin, tetapi juga haram. Namun hal demikian tidak menghentikan Werther, seorang pemuda pemimpi yang mencintai seni dan keindahan dari upayanya untuk menjadikan Charlotte sebagai kekasihnya. Akan tetapi, gairah terlarang Werther terhadap Charlotte membawanya berada di bawah tekanan; Werther merasa harus memiliki pekerjaan yang bergengsi di tengah lingkungan kehidupan Charlotte yang dikelilingi masyarakat borjuis. Berada di bawah tekanan tersebut Werther akhirnya melakukan aksi bunuh diri demi membebaskan dirinya dari kutukan gairah dan siksaan cinta bertepuk sebelah tangan.

Adapun yang menarik disini adalah daripada mengutuk aksi Werther sebagai aksi orang sarap, sang penulis, Goethe, yang merupakan salah satu founding father romantisme, menggiring simpati para pembacanya kepada Werther. Lakon ini dibingkai dengan sedemikian rupa untuk menggiring kita para pembaca kepada sudut pandang yang melihat aksi Werther adalah sebuah aksi yang patut untuk mendapatkan simpati dan mengagumi gairah Werther pada wanita yang dianggap sebagai belahan jiwanya. Novel ini lantas menjadi most best seller pada masanya, tiga juta kopi telah dicetak. Bahkan Napoleon Bonaparte mengatakan bahwa novel tersebut adalah novel terbaik pada sejarah literatur Eropa dan praktis The Sorrows of Young Werthers mengubah cara pandang masyarakat luas tentang cinta, memberikan privilese kepada curahan hati yang dramatis. Bagi seorang romantik, adalah selalu benar dan mulia untuk mengikuti kata hati. Menggunakan akal sehat dan pembuktian bahwa sering kali intuisi mengantarkan kita pada bencana bukanlah topik yang menyenangkan untuk dibahas bagi seorang romantik.

William Wordsworth, 1770–1850

Di Inggris pada tahun 1799, William Wordsworth seorang penyair muda pindah ke sebuah tempat tinggal yang nantinya akan menjadi sebuah daerah yang sangat terkenal dalam sejarah literatur Inggris; Dove Cottage, The Lake District. Ia menghabiskan waktu selama sembilan tahun untuk menuliskan puisi-puisi yang diantaranya puisi yang menjadi terkenal dengan topik yang sedang terancam oleh asap revolusi industri pada saat itu; natural world. Wordsworth menuliskan puisi tentang bunga daffodil, pohon ek, awan, kupu-kupu, sungai, dan puisinya yang sangat melankolis dan menawan menjadi pujaan di kalangan masyarakat Eropa pada saat itu. Dalam waktu singkat, Dove Cottage dipenuhi lebih banyak turis daripada kambing. Namun lebih dari itu, Wordsworth menuliskan puisi tentang kebenciannya kepada terhadap segala sesuatu yang mekanikal dan industrial sebagai perlawanannya terhadap dunia modern. Tak lama setelah ia menuliskan puisi tentang kebenciannya terhadap dunia modern, rel kereta yang tadinya direncanakan untuk dibangun melewati Dove Cottage, sontak membuat pengagum Wordsworth melakukan apapun yang dapat mereka lakukan untuk menggagalkan niat pemerintah setempat untuk membangun rel kereta di Dove Cottage yang mana tempat tersebut merupakan simbol perlawanan dari moderenisasi. Untuk menjadi romantik, menjadi bagian dari alam dan menentang industri merupakan sebuah kehormatan, begitu juga dengan berjuang untuk mempertahankan bunga daffodil daripada jembatan dan memilih sebuah pohon daripada sebuah pabrik. Masa di mana industrialisasi pada kota-kota di Inggris membuat benua Eropa kaya dari sisi ekonomi dan industri, Wordsworth sang penyair romantik secara lantang menyuarakan tentang alam dan kehidupan yang sederhana.

Kita mungkin berpikir ‘peduli setan dengan Werther, pernah baca aja nggak!’ atau ‘Wordsworth sape auk’, namun Werther adalah generasi awal dari romantisme, konsep ini terus berkembang dan berevolusi menjadi lakon lain, lirik sebuah lagu, inspirasi sebuah lukisan, dan lain sebagainya yang kemudian kita lahap sedari kanak-kanak bahkan sampai dewasa ini. Werther mungkin tidak dikenal oleh kita, namun kegigihannya memperjuangkan cinta walau terhalang status sosial dapat kita jumpai pada cerita Cinderella. Pengorbanan untuk mengatasi latar belakang yang berbeda demi menjadi satu menjadi inti cerita dari The Twilight Saga, dan sifat pemimpi nan puitis Werther mengingatkan kita kepada sosok Rangga di AADC. Masih banyak ide-ide romantisme yang diadaptasi dari abad 18 dan masih diproduksi sampai saat ini.

Belum lagi jika Wordsworth masih ada, saya yakin orang macam Fiersa Besari akan menjadi pengikut Wordsworth garis keras dan paguyuban pecinta kopi di kala senja akan mendemo pabrik-pabrik kopi tanpa ampas memperjuangkan kopi tanpa gula dan menyuarakan takdir kopi itu harusnya berampas.

Romantisme dari sejak kemunculannya, memberikan kita pandangan secara khusus, mendikte tanpa kita sadari, dengan argumen-argumennya tentang bentuk dari afeksi, apa yang kita harapkan dari afeksi, dan bagaimana seharusnya sebuah afeksi berjalan dan bekerja.

Lalu bagaimana romantisme, yang merupakan sebuah konsep, dapat merusak afeksi?

Mungkin sebagian besar dari kita meremehkan betapa kuat pengaruh cerita-cerita tentang afeksi dapat mempengaruhi kita. Argumen saya di sini adalah kemungkinan besar afeksi pada masa modern ini terasa sangat sulit, salah satunya dikarenakan kita terjangkit cerita-cerita romantis yang tidak membantu dan tidak dapat memberikan kita gambaran yang tepat tentang kehidupan percintaan yang sebenarnya.

Hemat saya, berikut adalah salah satu asumsi romantisme terhadap afeksi yang terbesar dan paling beracun; bahwasanya ada seseorang diluar sana yang sedang menunggu kita sebagai belahan jiwanya. Mungkin kita belum bertemu dengannya, atau mungkin setingan location tinder kita tidak cukup jauh menjangkaunya, namun kita terus mencarinya dengan sepenuh hati. Setelah siang malam bermunajat untuk mendapatkan kasih hati, akhirnya kita pun menemukan jodoh yang terkasih setelah menyeberangi lautan penderitaan dan lembah kesepian. Entah bertemu dengannya di terminal, toko buku, konser musik, halte bus atau rumah ibadah.

Bagaimana kita tahu bahwa ia adalah jodoh kita? intuisi kita mengatakan demikian.

Sebuah perasaan yang tidak dapat dijelaskan, bahwa ketertarikan kita dengan jodoh kita bukan karena wajahnya yang simetris, tubuhnya yang molek, apalagi hartanya, tidak! perasaan yang tidak dapat dijelaskan dengan logika ini berasal dari intuisi kita yang mengatakan bahwa ia lah sang belahan jiwa, yang mana ketika jiwa kita akan segera menyatu dengannya segala pertanyaan-pertanyaan kita terjawab oleh kehadiran sang kekasih hati ini. Kita tidak lagi merasakan penderitaan melankolis tentang dinginnya rasa kesepian, kita telah menemukan belahan jiwa yang akan mengakhiri siksaan neraka sepi dengan kehadirannya dan anak-anak yang menggemaskan hasil dari hubungan tersebut. Romantisme meletakan harapan yang besar pada sebuah institusi pernikahan dan pernikahan adalah sesuatu yang praktikal dan dapat menyatukan jiwa dengan hasrat afeksi dan seks hingga maut menjemput.

Tetapi sayangnya realita tidak bekerja seperti itu Jose Fernando.

Pada dunia nyata, intuisi lebih banyak mengantarkan kita kepada musibah daripada mengantarkan kita pada tujuan. Itulah sebabnya tidak ada pilot atau dokter yang mengandalkan intuisi dalam pekerjaannya. Perlu kita sadari bahwasanya seringkali manusia tertipu oleh perasaan dan pikirannya sendiri. Tidak jarang kita tertipu dengan perasaan dan kejadian yang tidak dapat dijelaskan dengan (kapasitas) pikiran kita lalu secara ceroboh menghubungkannya dengan sesuatu yang mistik, seperti perasaan intuisi pada konteks afeksi.

Dalam kacamata psikonalisis (yang kemudian diperkuat dengan etologi) dijelaskan bahwa secara naluri, manusia tak ubah layaknya seekor bebek. Kita cenderung memilih pasangan kita bukan karena matanya yang indah dan atau tubuhnya yang semlehoy, tetapi lebih karena adanya kecenderungan kemiripan antara pasangan kita terhadap orang tua kita, baik dari segi fisik maupun sifat. Freud menjelaskan bahwa kedua orang tua kita adalah penentu standar ketertarikan kita dengan pasangan yang kita cari. Seperti bebek yang akan mengikuti apapun (ya bahkan manusia) yang pertama kali ia lihat ketika lahir dan memberikannya makanan, kita manusia secara naluri tertarik kepada orang yang terasa tidak asing bagi kita. Rasa nyaman yang diberikan oleh orang asing tersebut secara tidak sadar mengingatkan kita terhadap perlakuan orang tua kita. Itulah sebabnya banyak dari kita terjebak dalam kebingungan kenapa kita menyukai pasangan kita padahal sifat atau fisiknya tidak sesuai dengan apa-apa yang telah kita tetapkan dan inginkan, tidak lain dan tidak bukan adalah karena pasangan kita terasa familier. (bagi yang tertarik dengan isu ini bisa mencari “Freud on Oedipus & Electra Complex dan “Konrad Lorenz as Expert on Motherhood”)

Selain itu, konsep belahan jiwa yang merupakan inti dari romantisme dapat menjadi duri pada sebuah hubungan. Dengan cara berpikir bahwa pasangan kita adalah belahan jiwa, membuat kita mengusumsikan sudah sepatutnya pasangan kita dapat mengerti apa yang kita inginkan tanpa perlu memberi tahu apa yang sedang kita pikirkan. Kita menganggap dengan menyatunya jiwa pasangan kita, ia bisa mengetahui restoran mana yang sedang ingin kita kunjungi atau apa yang terjadi tadi siang di kantor ketika bos kita ngomel tanpa satu patah kata pun keluar dari mulut kita. Jika memang pasangan kita adalah belahan jiwa terkasih, seharusnya ia bisa memahami keadaan hati kita walaupun tak sepatah kata terucap. Kita mengharapkan pasangan kita menjadi praktisi ilmu kebatinan.

Atas nama belahan jiwa pula, dalam hubungan kita merasakan hak istimewa dengan menjadi diri sendiri. Karena cinta sejati adalah, menurut romantik, ketika kita menjadi diri sendiri dan pasangan kita dapat menerima kita apa adanya. Siapa pun akan mengamininya, namun manisnya ide tersebut akan berubah menjadi kecut dalam jangka waktu yang tidak lama.

Skenario yang familier seperti ini; katakan lah si Jembet memiliki kebiasaan aneh yaitu jika dia makan lidahnya suka melet-melet. Sedangkan pasangan Jembet, si Jembrewita mengeluhkan kebiasaan si Jembet yang menurutnya dinilai kurang elok. Sontak, Jembet gusar, “aku pikir kamu bisa terima aku apa adanya Brew! ngga pernah yang ada komplain ke aku selama ini, keluarga ku, teman-teman ku, mereka semua bisa menerimanya, kau saja memang yang tidak dapat menerima ku apa adanya!”

Mungkin contoh diatas terlalu mengada-ada. Tapi pesan yang ingin coba saya sampaikan adalah jika kita ingin mempertahankan sebuah hubungan afeksi, sepatutnya kita harus meninggalkan mitos romantisme yang menyebutkan bahwa dalam sebuah hubungan kita dapat menjadi diri sendiri sepenuhnya, tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Namun, jika dipertimbangkan secara bijak kita tidak dapat menjadi diri sepenuhnya demi keberlangsungan hubungan itu sendiri.

Selain itu, romantisme tidak pernah menyebutkan tentang sisi practicality dari kehidupan afeksi. Tidak ada satupun novel romantis pada abad 18 yang menyebutkan tentang cucian piring dan baju kotor, Rangga mungkin tidak akan seganteng itu jika pada realitanya jalan siang-siang di kwitang bikin ketek basah dan baunya pait, atau mungkin film saat ini sangat sedikit sekali -bahkan mungkin tidak ada-yang memberikan gambaran tentang pacaran di rumah aja karena tanggal tua alias ngga punya duit.

Dalam sudut pandang romantisme, haram hukumnya membicarakan finansial karena pada hakekatnya seorang romantik percaya jika ia menemukan belahan jiwanya, otomatis mereka dapat mengatur keuangan dengan baik. Kenyataanya, membicarakan finansial adalah hal yang amat krusial pada hubungan pernikahan. Berapa banyak perceraian yang disebabkan oleh ke-gembel-an pasangan? untuk itu pembicaraan finansial dari segi romantisme memang tidak elok, tetapi demi hubungan yang langgeng kita harus meninggalkan asumsi-asumsi romantisme tersebut.

Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita mulai mempertanyakan asumsi-asumsi dalam sudut pandang romantisme tentang afeksi, itu bukan untuk menghancurkan tetapi untuk menyelamatkan afeksi itu sendiri.

Tidak ada salahnya kita membicarakan keuangan secara detail dan terperinci kepada pasangan kita, pembagian manajemen keuangan memang tidak terdengan romantis tetapi ini perlu dan bukanlah sebuah pengkhianatan pada afeksi.

Adalah normal ketika ada momen kita tidak berhasrat dengan pasangan. Kita harus menyadari bahwa cinta dan seks tidak harus selalu bersamaan. Hilangnya hasrat seksual bukanlah pertanda berakhirnya sebuah afeksi.

Adalah kenyataan bahwa pasangan kita tidak akan pernah bisa mencakup menjadi kekasih, belahan jiwa, teman baik, supir, akuntan pribadi, pembantu rumah tangga, pembimbing spiritual, guru ngaji, tukang pijet, Anya Geraldine dan lain-lain, bukan karena kekurangan pada pasangan kita tetapi karena tidak ada seorangpun yang dapat menjadi pribadi yang sepenuhnya kita inginkan.

Bahwa kita perlu mempelajari ilmu komunikasi dan dengan bijak menggunakannya dalam rangka mencoba untuk memahami pasangan kita. kita perlu menyadari bahwa intuisi tidak akan membawa kita ke tempat yang kita inginkan.

Kehidupan afeksi juga bukan melulu soal pembicaraan serius seperti masa depan dan keuangan, tetapi juga pembicaraan masalah sepele seperti abu rokok atau tanggung jawab siapa yang mencuci piring. Perlu diingat, pembicaraan dengan topik sepele tidak akan lagi terdengar sepele ketika pembicaraan tentang masalah yang sama telah melewati tahun ke lima.

Dengan kembali mempertimbangkan asumsi-asumsi romantisme tentang afeksi. Kita dapat menyadari bahwa dalam afeksi memang terasa indah, tetapi terdapat banyak sisi-sisi yang tidak praktis yang patut disoroti. Kita perlu menyadari bahwa dibutuhkan alasan yang jelas kenapa kita memilih pasangan kita, kenapa kita perlu terlibat dalam sebuah afeksi, dan alasan-alasan yang kuat untuk dapat memutuskan menghabiskan seluruh hidup kita bersama pasangan kita. (kecuali jika salah satu dari kita mempunyai rencana poligami, poliandri atau kawin-cerai)

Romantisme telah memberikan kita ekspektasi yang berlebih pada kehidupan afeksi yang justru merusak keberlangsungan afeksi itu sendiri. Untuk itu, ada baiknya kita mulai menyadari bahwa afeksi adalah sebuah ketrampilan. Mulai dari ketrampilan untuk berkomunikasi hingga kecerdasan emosional.

Oleh karenanya kita perlu menyadari bahwa komitmen dalam afeksi dalam realitanya tidak seindah dalam kisah-kisah romantisme. Walaupun bukan berarti romantisme merupakan sesuatu yang sepenuhnya buruk. Satu-satunya hal yang patut kita pertimbangkan adalah keseimbangan dalam cara pandang kita dalam melihat sebuah afeksi. Tidak ada salahnya kita mengambil sisi terbaik dari romantisme, namun perlu juga diimbangi dengan sudut pandang rasional. Menjadi terlalu romantis membuat kita selalu mencari bentuk hubungan afeksi utopia yang mana akan selalu mengantarkan kita kepada ketidakpuasan, sedangkan terlalu menjadi rasional juga akan membatasi kita dari manisnya petualangan dalam kehidupan afeksi.

Untuk itu, pesan yang ingin disampaikan pada tulisan ini bukan untuk menilai romantisme adalah sepenuhnya buruk dan menjadi sepenuhnya rasional adalah yang terbaik, tetapi kita perlu menyeimbangkan keduanya agar kita mempunyai ekspektasi yang tepat terhadap kehidupan afeksi.

Karena resep kehidupan yang menyenangkan adalah kehidupan yang mengandung secuil romantisme dan sejumput rasionalitas.

--

--