Penjara Logika Mistika

Adhimantara I. N
10 min readJan 15, 2021

“Water is two parts hydrogen and one part oxygen. What if someone says, ‘Well, that's not how I choose to think about water.’? All we can do is appeal to scientific values. And if he doesn't share those values, the conversation is over.” -Sam Harris

Lukisan Nyi Roro Kidul karya Basoeki Abdullah

Pandemi ini telah memaksa saya untuk pulang ke rumah orang tua dan melakukan segala aktifitas di sini. Tentu saja tinggal di rumah orang tua jauh lebih enak ketimbang hidup sendiri, walaupun tetap ada saja tidak enaknya; kalau merokok ya harus di luar rumah, tidak di kamar mandi apalagi di kamar tidur. Peraturan ini lebih ketat daripada peraturan ganjil genap di Jakarta.

Kala itu waktu menunjukan jam 01.45 dini hari, saya sedang duduk di teras rumah orang tua sembari membolak balik halaman buku dan merokok dalam rangka mencari rasa kantuk. Di tengah lingkungan rumah yang cenderung gelap dan sepi, tiba-tiba ada suara desis langkah di teras rumah tetangga yang keadaannya kosong dan sudah hampir rata dengan tanah karena sudah tidak ditinggali selama lebih dari 20 tahun.

Saya kembali teringat dengan reputasi rumah sebelah yang terkenal angker di lingkungan sekitar terutama setelah adanya cerita-cerita mistis di kalangan satpam komplek. Ceritanya bermacam-macam, ada yang bilang melihat sosok wanita berambut panjang di sekitar rumah tersebut (ya termasuk di depan rumah saya), ada pula yang menceritakan melihat sosok seorang kakek pucat yang berdiri pada dini hari. Namun, saya yang telah menghabiskan hampir seluruh waktu hidup saya di lingkungan itu, entah berapa batang rokok yang terbuang, entah berapa kali lebaran terlewati, lebaran Islam, lebaran Cina, lebaran kuda, lebaran dono, tetapi sampai saat ini belum pernah sekalipun melihat sosok yang diceritakan oleh bapak-bapak satpam tersebut.

‘Mungkin kali ini saya akan melihat penampakannya’ pikir saya ketika mendengar desis langkah di teras rumah tetangga tadi, segera saya hampiri teras rumah sebelah dan menemukan seekor kucing sedang mengais-ngais tanah, mungkin mau buang air besar atau mungkin mau mengubur kenangan masa lalunya, entah lah yang pasti saya tidak bertemu makhluk gaib.

Lain di rumah, lain lagi di kantor. Saya bekerja pada institusi pemerintah yang lahir sejak era Presiden Sukarno, sejak era itu pula gedung tempat saya bekerja telah berdiri. Bangunan tua memang terlihat menggoda untuk disisipi cerita-cerita mistis. Ada puluhan cerita mistis yang beredar di lingkungan kantor saya, tetapi yang saya sering dengar tentu saja penunggu di ruangan saya. Ruangan saya yang terletak pada bagian paling belakang dan ujung gedung kantor ini merupakan tempat favorit bagi cerita-cerita hantu yang beredar, bahkan mereka punya nama untuk penunggu di ruangan saya: “Cassandra”. Tidak jarang pramu kantor mengalami kesurupan dan juga melihat sosok hantu pocong tepat di balik kursi yang biasa saya duduki.

Saya sebagai bujang lapuk tidak jarang menghabiskan waktu di ruangan kantor sendirian bahkan sampai jam 2 pagi, sering pula tanpa menyalakan lampu sedikit pun karena sadar tagihan listrik dibayar oleh kalian para pembayar pajak (jika ingin menyambit batu, waktu dan tempat dipersilahkan), bolak-balik kamar mandi, atau sekedar leyeh-leyeh dikarenakan malas pulang. Namun, lagi-lagi, setelah hampir 2 (dua) periode Presiden berselang sejak saya bekerja di situ, sampai saat ini belum pernah bertemu Cassandra. Adapun makhluk yang berhasil membuat saya menjerit ketakutan setengah mati bukan Cassandra, sama-sama bisa terbang tetapi yang membuat bulu kuduk saya berdiri adalah kecoa terbang.

Bicara tentang kesurupan, saya punya beberapa cerita yang ingin saya bagikan namun rasanya tak mungkin jika harus menceritakan semua. Namun, izinkan aku (you sing you lose) untuk berbagi sebuah cerita yang dapat menggambarkan bagaimana-meminjam istilah Tan Malaka-logika mistika (dalam skala besar) tidak hanya menghambat kemajuan bangsa, tetapi juga (dalam skala kecil) dapat membahayakan hidup seseorang.

Ayah dari seorang teman dekat saya tiba-tiba mengalami kaku di sekujur tubuhnya. Panik, istrinya bertanya ada apa. Sang ayah tidak berkata apa-apa, hanya melotot dan mengerang tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Istrinya pun bertambah panik, dan segera meminta sang suami untuk menyebut doa-doa, yang tentu saja beliau tidak bisa lakukan.

Selanjutnya apa yang dilakukan oleh sang istri merupakan hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia; memanggil “orang pintar”. Seperti yang kita duga, orang pintar tersebut melontarkan doa-doa dan mantra serta menabur aji-ajian pada sang suami. Untungnya, keesokan harinya sang anak segera membawa ayahnya ke dokter untuk diperiksa dan benar saja, bahwa ayahnya ternyata mengalami serangan jantung yang menyebabkan sebagian tubuhnya lumpuh.

Seperti yang kita tahu, penderita stroke memiliki golden hours untuk sesegera mungkin mendapati penanganan yang tepat. Bisa kita bayangkan bahaya yang muncul ketika sang keluarga memasrahkan kondisi tersebut ke “orang pintar” tadi, dan ada ribuan cerita serupa yang terjadi di masyarakat kita. Mulai dari Ponari, Gatot Brajamusti hingga Ningsih Tinampih.

Bentuk-bentuk logika mistika yang lazim di masyarakat Indonesia tidak terbatas dengan cerita urban makhluk gaib. Ada pula kepercayaan yang mungkin umum pada ratusan atau ribuan tahun lalu, tetapi menjadi irasional ketika masih diyakini pada zaman modern seperti sekarang.

Gue ngga bisa banget sih sama dia, soalnya dia taurus sedangkan gue gemini..” ucap teman saya menceritakan gebetannya. Mendengar itu otot wajah saya menarik alis saya setinggi cita-cita Bung Karno. Bagaimana bisa seseorang yang hidup di abad 21 menimbang kekasih yang akan menjadi pasangan hidupnya berdasarkan “ilmu perbintangan” dan berdasarkan tanggal lahir? apakah dengan lahir di bulan April maka secara otomatis seseorang akan menjadi fakboi?

Belum lagi seringkali kita mendengar perdebatan sengit terkait asal muasal manusia, homo sapiens. Jika boleh berasumsi, mungkin 80–90% masyarakat kita adalah seorang kreasionis; menolak bukti bahwa evolusi terjadi pada semua spesies makhluk hidup tidak terkecuali manusia. Tidak relevan lagi sanggahan para kreasionis bahwa ini adalah hanya teori atau adanya missing link pada teori tersebut. Bukti kaitan DNA antara satu spesies dan spesies yang lain terlalu nyata untuk diabaikan, namun di sekolah-sekolah di negara terbelakang teori evolusi dianggap sebagai “teori” belaka. “Hanya orang tolol yang percaya dengan teori evolusi. Tolol karena menganggap dirinya berasal dari monyet” adalah ucapan yang lazim sering terdengar di telinga kita. Tetapi ada hal yang sangat mengganggu pikiran saya terhadap klaim tersebut; (i) manusia modern tidak berevolusi atau berasal dari monyet/simpanse, tetapi manusia dan simpanse memang dari nenek moyang yang sama yang hidup pada 6 juta tahun yang lalu, (ii) tidak perlulah berpikir secara saintifik mendalam yang memang bukan bidang kita, tapi dalam logika saya yang sederhana ini jauh lebih mudah menerima manusia berevolusi dari spesies primata ketimbang tercipta dari clay. Bersaudara jauh dengan bonobo lebih mudah dicerna logika ketimbang ide bahwa manusia sepupu jauh kendi, genteng atau gentong. Bila konsep evolusi adalah konsep yang tolol rasanya saya memilih menjadi orang tolol ketimbang meyakini diri ini saudara jauh dengan tembikar.

Lalu kenapa mayoritas maysarakat kita demikian? bagaimana kita dapat menguraikan fenomena ini?

Ahli pikir macam Hegel atau Marx telah mencoba menguraikan fenomena-fenomena alur logika metafisis yang terjadi di masyarakat Eropa kala itu. Dialektika idealisme Hegel menyatakan bahwa adanya absolute idea (ruh absolut) pada setiap pergerakan materi, sedangkan dialektika materialisme mengemukakan bahwa konsep absolute idea adalah konsep yang abstrak, materialis percaya bahwa materi bergerak berdasarkan pada hukum alam. Atas dasar konsep ini pula yang mencoba menguraikan masalah ekonomi, sosial dan politik pada masyarakat Eropa kala itu.

Namun, saya mencoba mengaplikasikan konsep yang rasanya lebih mudah untuk dicerna terutama jika diaplikasikan pada sekala yang lebih kecil yaitu skala individu; arus pandang Monisme dan Dualisme.

Monisme dalam pengertian sederhananya adalah sebuah sudut pandang yang menyatakan bahwa pikiran adalah wujud dari materi. Sebuah pikiran tidak dapat terpisah dari materi. Contohnya materi dalam otak, kita dapat berpikir menelurkan ide-ide karena kita mempunyai sebuah otak, bukan dari hal abstrak lain seperti ide atau ruh dari makhluk lain.

Meminjam logika seorang neurologis ternama, Sam Harris mencontohkan alur logika seorang monis dengan cara yang mudah dipahami: materi air terdiri dari 2 materi lainnya, yaitu hidrogen (dengan kandungan yang lebih banyak) dan oxigen, diluar dari kandungan itu dapat dipastikan bukanlah air. Untuk itu air yang dicelupkan oleh Ponari seribu kali pun tiada berbeda dengan air kobokan pecel lele.

Sedangkan sudut pandang dualis melihat adanya perbedaan antara materi dan pikiran. Seorang dualis percaya bahwa pikiran adalah suatu jenis ruh yang tidak berwujud dan dapat mendiami atau meninggalkan tubuh seseorang. Seorang dualis percaya bahwa ada suatu ruh di balik tubuh kita yang dapat mengendalikan kita walaupun kita tidak berotak.

Dengan sudut pandang seperti itu seorang dualis dapat menafsirkan penyakit mental adalah sebuah kejadian di mana ruh lain dapat mengakuisisi tubuh seseorang, atau dengan kata lain “kerasukan setan”. Setan yang berbentuk ruh ini dapat keluar-masuk dalam tubuh seseorang, sehingga mereka (setan) dapat diusir. Dualis cenderung mempersonifikasi benda-benda mati seperti patung, batu, air, bahkan dapat melihat ruh di kepulan asap atau awan.

Saya pernah membaca tulisan seorang Profesor Yale di bidang psikologi, Paul Bloom tentang fondasi pemikiran manusia terhadap sebuah kepercayaan. Bloom (yang saya cukup yakin beliau adalah seorang Freudian) menyatakan bahwa manusia memang cenderung terlahir sebagai seorang dualis. Penjelasan-penjelasan dualis akan lebih mudah dapat dipahami ketimbang penjelasan empiris yang memang relatif lebih kompleks untuk dicerna. Gagasan bahwa manusia “tercipta” dengan dua kaki dan tangan, lima jari, dan lain sebagainya akan lebih mudah dipahami dibanding penjelasan seleksi alam. Sayangnya, beberapa dari kita tidak keluar dari pemikiran kekanak-kanakan tersebut.

lalu bagaimana dengan argumen “pengalaman pribadi”?

Tidak sedikit yang menentang dan mencemooh asumsi saya tentang setan-setanan. “ya lu ngga percaya sih, makanya nggak liat” argumen ini aneh sekali jika tidak boleh dikatakan bodoh. Yang dapat saya artikan dari argumen ini adalah saya harus membohongi dan meyakinkan diri sendiri bahwa objek yang saya lihat itu adalah kuntilanak walaupun sebetulnya objek tersebut hanya bayangan pohon.

Memang sekilas argumen pengalaman pribadi adalah argumen yang paling meyakinkan karena dialami oleh dirinya sendiri. Tetapi argumen ini adalah argumen yang paling kurang meyakinkan bagi orang lain, terutama orang yang memiliki pengetahuan di bidang psikologi dan neurologi.

Seseorang dapat berkata telah melihat makhluk gaib seperti kuntilanak atau pocong, baiklah, tetapi orang lain juga dapat berkata bertemu dengan leluhurnya yang merupakan ajudan Wong Fei Hung, tetapi tentu saja kita sulit untuk mempercayainya. Orang-orang pada jaman perunggu percaya bahwa dukun-dukun mereka telah bertemu dewa-dewa penguasa alam, berbicara pada mereka, dan menugaskan sang dukun untuk menjalankan misinya. Tetapi dengan majunya ilmu pengetahuan, kita dapat menemukan orang macam tadi di Rumah Sakit Jiwa terdekat dan Lia Eden bukan lah pengecualian.

Namun melihat hal-hal yang “gaib” tadi juga bukan lantas kita gila. Otak manusia merupakan piranti yang luar biasa canggih. Otak kita menerima data dengan jumlah yang sangat besar lewat mata tentang apa yang terjadi setiap detiknya. Di sisi lain, otak kita mengkonstruksi suatu model yang diperbaharui secara terus menerus oleh syaraf optik. Itulah kenapa sering kali kita melihat ilusi optik pada keseharian kita. Kubus Necker adalah contoh ilusi optik yang mudah kita jumpai, ilusi yang muncul dikarenakan data yang ditangkap oleh mata kita diterima oleh otak sesuai dengan dua alternatif model realitas. kesimpulannya, kita mudah sekali tertipu oleh otak kita sendiri.

Saya jadi teringat percobaan yang dilakukan oleh sekumpulan peneliti di salah satu stasiun TV asing beberapa tahun lalu tentang kepercayaan masyarakat sekitar Scotlandia terhadap makhluk monster Loch Ness. Sebuah potongan kayu yang dapat dikendalikan timbul dan tenggelam sengaja di perlihatkan dari kejauhan di sebuah danau yang tidak memiliki cerita legenda apapun, dan setiap orang yang melewatinya dengan mudah menyimpulkan bahwa apa yang dilihatnya barusan adalah sepotong kayu yang mengambang. Namun yang menjadi menarik adalah ketika potongan kayu yang sama sengaja diletakan di permukaan danau Loch Ness yang notabenenya dikenal sebagai danau hunian seekor monster. Hampir semua orang sekitar yang melihat penampakan tersebut bersikeras bahwa mereka baru saja melihat monster Loch Ness.

Menonton dokumenter ini tidak saja menghibur saya tetapi juga membuka pikiran saya dan menyadarkan bahwa pentingnya sebuah observasi empiris; pentingnya sebuah sains. Hanya dengan sains kita terhindar dari kebodohan dan dibodohi oleh orang-orang yang mengetahui kelemahan kita sebagai manusia dan memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri.

Tan Malaka lewat Madilog, telah mencoba memperingati kita untuk keluar dari cara berpikir logika mistika. Belenggu logika mistika hanya akan memupuk dan memperkuat mentalitas seorang budak. Menunggu kemunculan Ratu Adil membuat Bangsa Indonesia menunggu pasrah tanpa melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan feodalisme.

Merdeka secara konstitusi telah kita capai, tetapi kemerdekaan berpikir masih jauh dari jarak yang dapat tergapai. Jangankan memperjuangkan kemerdekaan berpikir, menyuarakan pikiran saja dapat menghantarkan mu kedalam masalah. Sebagian dari kita terlalu nyaman sebagai budak karena menjadi bebas membutuhkan tanggung jawab yang besar. Menjadi bebas berarti tidak dapat menyalahkan orang/mahkluk lain. Menjadi bebas berarti kita harus bertanggung jawab terhadap opsi yang kita pilih atas kehendak sendiri. Sedangkan selalu mudah untuk menjadi budak, tidak perlu berpikir dan dapat selalu menyalahkan hal lain atas yang terjadi terhadap pilihan hidup, selalu ada setan yang disalahkan dan akan selalu ada ratu adil yang dapat menyelamatkan kita. Berpikir secara merdeka akan membebaskan manusia dari mentalitas budak, hal yang tidak diinginkan oleh sebagian besar manusia dengan mentalitas tuan.

Berangkat dari pemikiran tadi, saya bertanya-tanya apakah masyarakat di Indonesia memang sengaja dibuat mentalitas budak? mungkin sebagian besar dari kita tidak setuju, tetapi melihat realitanya kehidupan kita di Indonesia sehari-hari masih dilandasi oleh kepercayaan-kepercayaan tertentu. Pemimpin haruslah dari suku tertentu atau dari agama tertentu. Buku-buku tentang pengetahuan dirazia dan dihilangkan. Dan yang lucunya, beropini berdasarkan sains atau filsafat akan dicap “sok tahu” terutama bila kontra dengan kepercayaan tertentu. Bila ini kita anggap merdeka, kita perlu membuka lagi kamus tentang definisi merdeka, atau bisa jadi DNA budak telah menjalar di sekujur tubuh kita.

Tan Malaka menghabiskan masa hidupnya lari dari kejaran para kolonial dikarenakan memperjuangkan kebebasan berpikir. Tidak ada tuan yang mau kehilangan budaknya. Tidak ada penguasa yang mau kehilangan pengikutnya. Lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka tetapi masyarakatnya belum lepas dari budak pikiran, belum keluar dari penjara logika mistika. Hukuman “dibakar selama-lamanya” secara efektif menghalangi masyarakat kita untuk berpikir rasional. Karena berpikir rasional berarti merdeka. Merdeka berati kita bebas memilih pemimpin berdasarkan kapasitasnya daripada agama atau sukunya. Atau mungkin memilih pasangan berdasarkan kepribadiannya daripada bintangnya, apalagi agamanya (iya paham kalo ini masih sulit), apalagi sukunya, apalagi shio nya, apalagi garis tangannya, atau apapun itu yang terdengar irasional.

Demi menghindari bias, haruslah saya meminta para pembaca untuk tidak menyalahi pesan dari tulisan ini. Saya tidak pernah mempromosikan ideologi tertentu atau kepercayaan tertentu apalagi kepercayaan terhadap sains. Karena sains bukanlah kepercayaan, sains hanyalah sebuah cara atau metode untuk menjelaskan apa-apa yang betul terjadi melewati observasi secara empiris sedangkan kepercayaan adalah mempercayai sesuatu yang memang secara umum sulit untuk dipercayai. Itulah mengapa kita tidak bilang “saya percaya bumi itu bulat” karena berdasarkan observasi secara empiris bumi berbentuk bulat. Sah-sah saja percaya bahwa bumi itu berbentuk donat, tetapi pengalaman empiris tidak menunjukan seperti itu. Untuk itu, kita menyebutnya “mengerti”; “saya mengerti bahwa bumi bulat”. Lain halnya dengan tuyul. kita bisa bilang uang kita hilang karena kita percaya ada tuyul yang mengambil. Walaupun hal ini sulit dibuktikan, tetapi kita mempercayainya. Inilah yang disebut kepercayaan.

Maka dari itu apa yang coba saya sampaikan adalah pesan pentingnya berpikir secara rasional ketimbang irasional. Karena berpikir secara irasional akan memudahkan kita untuk dibodohi dan melakukan hal-hal yang hanya memenuhi kepentingan sang tuan semata, selain itu juga dapat membahayakan kehidupan kita sendiri.

Saya dapat membayangkan bagaimana Tan Malaka hidup dalam pelariannya hanya karena menyuarakan kemerdekaan berpikir pada jaman kolonial. Sebelumnya saya juga ragu untuk menulis artikel ini. Takut kalau-kalau dihujat dan dicap “sok tahu” oleh sebagian kalangan. Tetapi dibandingkan Tan Malaka yang ditembak mati, dihina “sotoy” tidak lah terdengar menakutkan. Maka saya beranikan diri untuk menulis artikel ini sambil ngudud dan memutar lagu “Redemption song” nya Bob Marley. Bekicit..bekicit..bekicit.. bunyi suara gitarnya sambil bersenandung:

“Emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our mind

uyeeee~

--

--