MAKAN MALAM SENDIRI MENGENALI DIRI

Adhimantara I. N
5 min readApr 29, 2020

--

Kenapa makan malam sendirian akan membawa kita menjadi pribadi yang lebih baik

..Makan Makan Sendiri, Cuci Baju Sendiri, Tidur Pun Sendiri..

– Caca Handika, Pedangdut

Charles Spencelayh The Empty Chair

Kita hidup di tengah masyarakat yang beranggapan bahwa melakukan sesuatu hal sendirian adalah menyedihkan. Mereka seperti kesulitan untuk membedakan definisi dari kata “sendiri” (alone) dan “kesepian” (lonely).

Umur lebih dari 25 tahun belum menikah? sad,

pergi ke pusat perbelanjaan sendiri? sad,

menonton bioskop sendiri? sad.

Jadi, ketika umur mu diawal 30, pergi kemana-mana sendiri, sampai makan pun juga kau sendiri? menurut anggapan sosial yang ada, bisa jadi kamu adalah makhluk yang patut dikasihani setelah fakir miskin.

Dengan hidup ditengah konstruksi pemikiran seperti itu, penjelasan tentang betapa pentingnya untuk sendirian –pada tingkatan tertentu- menjadi sesuatu yang krusial.

Memang menyenangkan saat kita berkumpul bersama teman-teman baik kita atau dikelilingi orang yang kita sayangi, baik secara langsung maupun via digital, di mana pun dan kapan pun kita berada. Namun, kehadiran orang lain secara konstan pada keseharian kita secara sadar atau tidak, telah menghalangi kita untuk memberikan waktu bagi diri kita untuk hadir pada pikiran kita sendiri.

Ketika kita tidak pernah sendirian, kita malah menuju ke resiko yang lebih besar daripada rasa kesepian itu sendiri: melupakan eksistensi diri kita.

kita.tidak.mengenali.siapa.diri.kita.sebenarnya.

Kita begitu tenggelam dalam ketakutan akan penilaian orang lain terhadap diri kita. Pribadi kita terbentuk atas penilaian sosial. Kita cenderung tidak menjadi diri sendiri ketika berada di tengah orang lain, dengan alasan mengikuti kaidah norma sosial yang berlaku. Ketakutan atas penolakan oleh kelompok sosial membuat kita menjadi kehilangan ide atas siapa diri kita sebenarnya.

Daripada kegelisahan itu, akhirnya membawa kita kepada gratifikasi instan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang kita alami. Kita cenderung memilih untuk berada di tengah-tengah orang ketimbang menyendiri untuk menganalisis diri demi mengetahui hal-hal yang akan mengeluarkan kita dari mediokritas, seperti apa yang kita inginkan, situasi apa yang sedang kita rasakan, dan hal-hal apa yang kita hargai.

Absennya penilaian kita terhadap diri sendiri membuat kita cenderung kesulitan untuk menghadapi kritikan dan juga pujian.

Ketika orang lain mengatakan bahwa kita tidak berguna atau mungkin buruk, kita tidak mempunyai sesuatu yang mencegah kita untuk menelan bulat-bulat apa yang mereka tuduhkan kepada kita. Tidak perduli betapa salahnya penilaian mereka, kita merasa kalah dalam pengadilan opini mereka. Kita akan selalu bertanya kepada orang lain tentang apa yang kiranya kita pantas lakukan daripada mencari jawaban dari diri sendiri terlebih dahulu.

Kurangnya penilaian pada diri kita oleh kita sendiri juga menyebabkan kita haus akan pujian dan pengakuan dari orang lain. Tepuk tangan dan pujian dari orang lain menjadi lebih penting dari yang seharusnya.

Kita menjadi pribadi apapun yang orang lain suka; kita tertawa pada joke yang tidak lucu (ketawa karir), menerima sebuah konsep hanya karena itu populer tanpa mengkritisinya terlebih dahulu, melakukan sesuatu hal hanya karena semua orang melakukan itu, only for easy popular wins.

Makan Malam Sendiri Mempertanyakan Diri

“Tidur lebih awal dan bangun lebih pagi, maka kamu akan sehat, makmur, dan bijaksana” kata Benjamin Franklin. Dengan keadaan seperti sekarang? Di tahun 2020? di masa kita generasi milenial harus menanggung beban ekonomi akibat kelakukan para boomers di masa lalu? Mungkinkah?

Bangun tergesa-gesa, menahan emosi terhadap kacaunya jalanan ibu kota, menghadapi klien atau bos yang melelahkan, pulang dengan sisa tenaga dan mood yang seadaanya untuk kembali menghadapi bangsatnya jalanan ibu kota, sampai pada di rumah dengan tetes terakhir tenaga, dan menuju tempat tidur. Untuk langsung tidur? Tidak. Meningkatnya kortisol membuat kita haus akan dopamin; membuka media sosial sebagai obat dan candu. Likes, video lucu, artis yang kita suka, barang yang kita inginkan, menahan kita untuk tidur. Melupakan waktu dan kenyataan bahwa besok kita harus bergumul lagi dengan siklus persis seperti hari ini.

Dengan siklus hidup seperti itu kita lupa untuk mengunjungi satu-satunya orang yang paling penting untuk kita kunjungi: diri sendiri. Rutinitas pekerjaan membuat kita selalu dikelilingi oleh klien, kolega kantor, atasan, bawahan, bahkan office boy. Oleh rutinitas pekerjaan juga kita menghabiskan waktu luang kita untuk bersenang-senang melepas penat dengan teman-teman baik kita, entah party, makan di luar bersama, atau sekedar mabok anggur merah. Kita tidak pernah punya waktu untuk nongkrong dan berbincang dengan diri kita sendiri.

Demi untuk mengetahui diri kita yang lebih baik, kita harus menghentikan itu semua. Kita harus memulai untuk tidak membiarkan orang lain mengalihkan kita dari kesendirian. Karena itu akan menghalangi kita untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup kita sendiri tentang karir atau tujuan-tujuan hidup kita. Pertanyaan-pertanyaan macam itu sering kali tidak kita hiraukan karena selalu ada orang lain yang kita bisa ajak berbicara tentang video kucing atau jumlah kekayaan Raffi Ahmad.

Dengan menemukan jawaban atas pertanyaan hidup kita, kita tidak lagi merasa resah terhadap bisingnya penilaian orang lain terhadap diri kita. Kita mempunyai pegangan atas pemikiran kita secara mandiri. Kita mempunyai sudut pandang independen terhadap suatu hal. Kita menilai diri sendiri lebih dari sekedar jumlah likes dan followers. Kita menilai suatu hal berdasarkan ideologi kita. Dan kita menjadi manusia yang berprinsip.

Maka dari itu, kita pun harus sadar bahwa tidak ada yang salah dengan sendirian. Dengan menyendiri, kita mempertanyakan kembali maksud dan tujuan dari apa yang kita lakukan selama ini. Kita tidak akan pernah benar-benar menikmati dari pertemanan sebelum kita berteman dengan diri kita sendiri, kita tidak akan pernah benar-benar menghargai keberadaan seseorang buat kita sebelum kita menghargai keberdaan diri kita sendiri, dan yang paling penting; kita tidak akan pernah bisa mencintai seseorang sebelum kita bisa mencintai diri sendiri.

Memang sulit untuk kita mencari waktu untuk menyendiri, tetapi saya pribadi sangat menikmati makan malam saya dengan kesendirian. Saya menikmati jam makan malam karena pada waktu itu menandakan bahwa beban tanggung jawab pada hari itu telah usai. Untuk itu, makan malam adalah waktu yang sangat tepat untuk mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan akan hidup saya, dari pertanyaan seperti “akan kah saya menikah?” atau pertanyaan remeh semacam “album Franz Liszt yang mana yang kiranya akan saya putar sebelum tidur?”.

Dengan berdialog pada diri saya sendiri saat makan malam, membuat saya tidak hanya mencerna menu makan malam saya pada saat itu, tetapi juga mencerna apa yang telah saya lakukan hari itu dan bertanya-tanya kemana hari esok akan membawa saya.

--

--