BOSAN

Adhimantara I. N
9 min readOct 7, 2020

“What is boredom? it is when there is simultaneously too much and not enough” — Jean Paul Sartre

Portrait of Dr. Gachet (1st version) Karya Van Gogh

Tujuh bulan sudah saya berada di dalam rumah. Sejak diumumkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada bulan Maret, sepulang dari kantor saya langsung bergegas ke apartemen saya untuk menyiapkan barang-barang saya butuhkan selama work from home (WFH) dan pulang ke rumah orang tua saya.

Selama dari bulan Maret pula saya berdiam diri di rumah demi menghindari jeratan pandemi ini. Mengingat Ayah saya kembali terkena serangan jantung pada bulan Juli, ketakutan saya pada pandemi ini semakin bertambah parah (fyi ayah saya sudah sehat).

Walau begitu, besarnya rasa takut saya terhadap pandemi ini kalah dengan rasa kebosanan-dan tuntutan pekerjaan-saya. sejak WFH terhitung saya mengunjungi kantor sekitar 4–5 kali dengan tujuan selain menyelesaikan pekerjaan, juga untuk melepas penat yang saya alami selama mengurung diri di dalam rumah.

Ketika saya mengatakan ‘penat’ disini, saya benar-benar merasakan penat. kejenuhan luar biasa yang saya belum pernah saya rasakan salama ini. kecemasan tentang berbagai aspek di kehidupan saya datang menghantui setiap malam, mencekik dan menahan saya dari lelap.

cabin fever tuh” kata teman saya. Istilah itu mulai banyak muncul di media-media setelah pandemi ini melanda seluruh dunia. Cabin fever adalah istilah untuk menggambarkan berbagai macam perasaan negatif yang diakibatkan oleh kondisi isolasi yang cukup lama pada tempat tertentu seperti di dalam rumah.

penderita yang mengalami ini merasakan perasaan-perasaan negatif seperti sedih, mudah tersinggung, gelisah, cemas, dan yang paling terakhir adalah yang menjangkiti saya paling parah; bosan.

Penasaran, saya pun mencoba mengukur seberapa bosannya saya lewat Boredom Proneness Scale (BPS). Setelah menjawab 28 pertanyaan, saya mendapati nilai BPS 135, yang artinya adalah saya sangat rentan terhadap kebosanan. Sebagai gambaran, skor rata-rata yang telah mengikuti tes ini antara 81–117. semakin tinggi angkanya semakin rentan pula menghadapi kebosanan. Hanya ada 2.3% dari populasi peserta tes yang memiliki nilai diatas 135.

Skor Boredom Proneness Scale

Segala hal saya lakukan untuk lari dari kebosanan: membaca berbagai buku dengan genre yang sebelumnya saya tidak minati, merakit Tamiya, mengaktifkan virtual private network pada saat di kamar mandi, kembali bermain instrumen musik, merekam lagu yang telah dibuat, sampai menonton video youtube mulai dari 3 hours discussion on metaphysics (yang sebetulnya saya merasa tersanjung youtube merekomendasikan video ini) hingga video buaya makan orang. Namun kebosanan selalu kembali datang, mencucuk hidung saya untuk patuh dan menjerumuskan pada hampanya neraka kebosanan.

Kebosanan pada rutinitas juga membuat saya menjadi cepat merasakan lelah. duduk untuk berkonsentrasi pada pekerjaan selama 1–2 jam dengan mudah membuat saya muak. kata ‘motivasi’ hilang dari kamus kehidupan saya. Sebaliknya, kata ‘mager’ seperti tercatat dalam akte kelahiran sebagai nama tengah. Dan berkonsentrasi menjadi aktivitas yang lebih berat daripada memindahkan motor yang setangnya dikunci.

“Kebosanan terjadi waktu kita jauh dari Tuhan” begitu kata kolega saya di kantor. Statement ini membuat saya berpikir sejenak, tetapi dengan segera terlupakan. ‘kalo itu memang benar, sekarang Bill Gates pasti lagi goler-goler mainan hape sambil scrolling Instagram atau mungkin lagi nyari diskonan di sopi’.

Tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan tentang kebosanan, saya mulai mencari literatur-literatur tentang kebosanan baik dari saintifik hingga filosifis. ‘Mudah-mudahan penjelasan yang saya dapatkan akan jauh lebih memuaskan dari penjelasan kolega saya’ pikir saya sembari membuka laptop.

Sains

Ternyata cukup sulit untuk mendefinisikan ‘kebosanan’ dalam sains, bahkan sampai saat ini belum ada kesepakatan secara universal tentang definisi dari ‘bosan’. Selain itu, penelitian tentang ‘kebosanan’ bisa dikatakan masih sedikit.

Memang mudah untuk membayangkan situasi yang membosankan seperti menunggu ojek datang, berada dalam rapat yang monoton, atau terjebak macet di Jalan Sudirman pada jam 7 malam. Tetapi untuk mendefiniskan apa yang dimaksud dengan ‘kebosanan’ secara tepat ternyata jauh lebih sulit bagi para peneliti di bidang Psikologi dan Neurosains Kognitif.

Pada studi kebosanan yang dilakukan tahun 2012 menyebutkan bahwa kebosanan adalah kombinasi dari kurangnya obyektif dari kegairahan neurologis dan keadaan psikologis subjektif dari ketidakpuasan, frustrasi atau ketidaktertarikan, yang semuanya diakibatkan oleh kurangnya stimulasi. bila dibandingkan dengan rasa putus asa, kebosanan lebih melibatkan perasaan terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan pada saat itu saja, tetapi tidak melibatkan keyakinan akan kegagalan di masa depan.

Walaupun ada banyak macam jenis ‘kebosanan’, sebuah studi mengatakan bahwa kebosanan yang mendalam adalah sebagai tanda depresi, cemas, dan stress. Kebosanan juga menyebabkan tingginya tingkat konsumsi alkohol dan merokok.

oh

*mematikan rokok dan menutup botol*

Sains memang masih bingung dalam menentukan definisinya, tetapi sains mempunyai jawaban kenapa kita merasakan bosan: ketika kita berada dalam kondisi merindukan aktivitas tetapi tidak menyadari apa yang diinginkan dan melihat ke dunia untuk memecahkan kebuntuan.

Dapat disimpulkan bahwa kita merasakan bosan ketika kita mengalami kesulitan memperhatikan informasi internal, seperti pikiran atau perasaan, atau rangsangan luar yang diperlukan untuk mengambil bagian dalam aktivitas yang memuaskan; ketika kita menyadari fakta bahwa kita mengalami kesulitan untuk memperhatikan; dan ketika kita menyalahkan lingkungan atas keadaan menyedihkan kita, dan berpikir, “ini membosankan,” atau “Tidak ada yang bisa dilakukan.”

Filosofis

Berbeda dengan sains, pembahasan tentang ‘kebosanan’ telah menjadi salah satu pembahasan utama di filsafat. Sejak zaman Yunani kuno hingga hari ini topik ‘kebosanan’ menjadi topik yang tidak bisa disepelekan.

Sejumlah pemikir dari masing-masing masanya, secara garis besar menempatkan ‘kebosanan’ sebagai situasi yang tidak dapat dihindari dan menjadi bagian dari eksistensi kita sebagai manusia.

Mungkin karena kebanyakan mikir lama-lama eneg juga.

Seneca (4 SM-65 M) seorang filsuf Stoa, menuliskan sebuah esai “Tranquillity of mind” menggambarkan bagaimana kawannya bernama “Serenus” yang mengalami kehilangan motivasi hidup. Seneca mengingatkan Serenus bahwa kondisinya dapat menjerumsukannya ke situasi yang lebih buruk seperti melankolis, iri hati, dan dengki. Seneca menyarankan Serenus untuk melakukan kesibukan dan fokus saja kepada hal-hal yang dapat kita kendalikan. Memang sangat kental unsur Stoa disini, tetapi entah kenapa saya lebih bisa relate kepada Serenus daripada Seneca :(

Memasuki era moderen, Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat bahwa kebosanan menjangkit individu yang tidak aktif dan tidak memiliki sesuatu yang harus dikerjakan. Kant menyarankan untuk mengobati kebosanan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau berpartisipasi pada kegiatan rekreasi untuk mengalihkan diri dari kebosanan.

Saya nggak heran dengan sarannya mengingat Kant memang tukang party. Namun saya cukup surprise dengan saran Kant yang tidak mengandung nada-nada teologi seperti pemikir di jamannya seperti Pascal atau Kierkegaard yang menempatkan ‘kebosanaan’ disebabkan oleh absensinya kehadiran Tuhan. Seperti halnya kolega saya di kantor, orang-orang pada masa 1700–1800an meyakini ‘kebosanan adalah absennya Tuhan’ dan menjadi pemikiran yang lumrah dan diterima luas pada masa itu. Tahun 1800. Lebih dari 200 tahun yang lalu. Jaman dimana vaksin belum ada dan hampir seluruh manusia (kecuali Copernicus dan kawan-kawannya di kampung) masih berpendapat bahwa bumi adalah pusat alam semesta.

Arthur Schopenhauer (1788–1870) menuangkan banyak pikirannya tentang ‘kebosanan’ lebih dari pemikir manapun pada zamannya. Schopenhauer mengatakan bahwa kebosanan adalah twin poles of human life. Ia memberikan gambaran bahwa sering kali kita merasakan kekurangan akan sesuatu, sesuatu yang kita butuhkan. Kemudian kita mencari kekurangan itu, dan jika kita beruntung, kita mendapatkannya. Tetapi ketika kita mendapatkannya, hal tersebut tidak membawa kepuasan pada diri kita seperti yang kita bayangkan. Yang kita dapat malahan sejumlah dosis kebosanan yang tinggi, dan itu terus membuat kita berusaha untuk mengidentifikasi objek-objek lain, dan somehow kita tetap berkeyakinan bahwa ketika kita bisa mendapatkannya kepuasaan kita akan terpenuhi. Baik keinginan maupun kebosanan bukanlah keadaan yang sangat menyenangkan; sebenarnya, keduanya adalah bentuk penderitaan. Dengan demikian, kehidupan dapat dilihat sebagai bandul yang berpindah-pindah antara satu kondisi buruk dan kondisi lainnya.

Walaupun Schopenhauer memandang dunia ini secara pesimis, disisi lain Ia berpendapat bahwa adanya kaitan erat dengan tingkat kecerdasan dan kompleksitas penderitanya, dimana hal ini diamini oleh Nietzsche. Klaim umumnya di sini adalah bahwa kecenderungan untuk bosan adalah tanda kecerdasan. Hewan-menurutnya-merasakan sedikit kebosanan. Manusia rentan terhadap kebosanan sebanding dengan seberapa pintar mereka. Dibutuhkan dunia yang kaya dan beragam untuk menyimpan minat seorang jenius, dan dunia nyata sering kali tidak sesuai. Adapun bagi mereka yang puas dengan sesuatu seperti kehidupan sehari-hari, mereka adalah orang yang paling bodoh, tidak banyak, jika ada, di atas level orang yang tidak berkeprimanusiaan (brutes). Walaupun klaim ini sedikit mencerahkan saya, tetapi mengingat nilai-nilai pelajaran di sekolah saya dulu menyedihkan, maka saya mengamini pendapat Schopenhauer sebagai pelipur lara.

Adapun yang menarik adalah Martin Heidegger (1889–1976) membahas topik ‘kebosanan’ ketika mengajar perkuliahannya tentang The Fundamental Concepts of Metaphysics di tahun 1929 sampai 1930. Ia menulis tentang ‘kebosanan’ lebih banyak dari pemikir manapun, mungkin Heidegger melihat makna ‘kebosanan’ yang lebih dalam daripada pemikir-pemikir lain. Seperti yang kita ketahui, inti konsep dari filsafat Heidegger adalah ‘Dasein’, ‘being there’ dalam Bahasa Inggris, atau ‘berada’ dalam Bahasa Indonesia.

Suasana hati (mood) menjadi hal yang menonjol dalam pemikiran Heidegger tentang kebosanan. Suasana hati dapat mengungkapkan bagaimana diri kita menjadi seorang individu. Tetapi suasana hati bukanlah sebagai sesuatu respon yang subjektif terhadap hal yang objektif. Suasana hati bukan masalah internal ataupun eksternal melainkan sebuah karakteristik dasar pada sebuah ke-eksistensi-an (basic characteristics of being-in-the-world). Melalui suasana hati kita dapat merasakan apa yang sedang terjadi di dunia kita, Mood dapat mengintepretasikan keadaan kita lebih komprehensif dari panca indera merasakan sesuatu disekitar kita.

Bagi Heidegger, sama pentingnya seperti kecemasan (anxiety), kebosanan merupakan hal yang penting bagi manusia dan eksistensinya. Kebosanan menghilangkan ilusi makna dari berbagai hal dan memungkinkan mereka untuk tampil sebagaimana adanya: kekosongan dan ketiadaan. Contoh: bales-balesin email client kalian yang jumlahnya ratusan, dengan kebosanan kalian menyadari bahwa kegiatan yang kalian lakukan adalah omong kosong.

Untuk itu Heidegger percaya bahwa ketika kita menyadari kebosanan, hal tersebut dapat membuat kita memikirkan kembali posisi kita terhadap keberadaan dan waktu. Bagi Heidegger, kebosanan adalah sesuatu yang fundamental dan harus diistimewakan karena hal itu membawa kita langsung ke kompleks masalah kita sebagai manusia terhadap keberadaan dan waktu. Dengan begitu ‘Kebosanan’ dipercaya dapat membawa kita kepada manusia yang otentik dimana hal tersebut dapat membawa kita kepada kebenaran dan kebijaksanaan.

[p]hilosophy is born in the nothingness of boredom” sabdanya.

sumber instagram @casual_nihilismx

Setelah meresapi dan mencoba mencerna pemikiran-pemikiran diatas, saya mulai mencoba merefleksikan terhadap situasi yang sedang saya alami. Kenapa rasanya sulit sekali mengangkat badan saya dari pelukan kasur? kenapa halusnya seprai merekat pada setiap pori-pori kulit saya? Kenapa rutinitas pekerjaan terlihat seperti dubur ayam dengan haemorrhoids yang membuat saya ingin mengeluarkan isi perut saya? dan yang paling krusial; kenapa hari-hari saya terasa monoton, tidak perduli itu hari Kamis atau hari Minggu semuanya terasa sama saja, membosankan.

Padahal rasanya saya sudah melakukan segala cara untuk mengusir kebosanan. Bagi saya, dibutuhkan tingkat kebosanan yang tinggi untuk dapat menonton video berisi buaya makan orang. Tetapi itu semua tidak dapat mengusir rasa kehampaan pada hari-hari yang telah saya lewati.

Atau mungkin itu justru sumber permasalahannya?

Ketika kebosanan adalah suatu keadaan yang dialami oleh setiap insan manusia, saya selalu mencoba lari dari situasi tersebut. Ketika kebosanan melanda, mengkritik cara bicara Bowo Alpenliebe menjadi pilihan saya ketimbang saya mengkritik cara bekerja dan cara berpikir saya. Saya memilih untuk lari dari situasi menyiksa seperti kebosanan daripada mencoba untuk berdamai dengannya.

Mungkin saya harus berdamai dengan kebosanan. Caranya? entahlah. mungkin dengan tidak melakukan apa-apa, tidak dengan ponsel, tidak dengan buku, tidak dengan tamiya, atau apapun yang dapat mengalihkan saya dari kebosanan, hanya saya dan waktu. Hinggap pada kehampaan, fokus kepada kekosongan, sembari berkontemplasi tentang kegiatan apa yang kiranya dapat membuat saya berarti sebagai individu dan kembali mempertanyakan tentang segala hal yang sudah saya telah perbuat dan apa artinya untuk saya. Apakah selama ini pekerjaan saya adalah sebuah kegiatan yang tidak berarti? atau memang hidup saya yang tidak berarti? wkwk anjim.

Jika Sartre menganggap bahwa kebosanan adalah leprosy of the soul, kali ini saya harus berseberangan pendapat darinya. Seiringnya waktu berjalan, image dari ‘kebosanan’ memang mengalami pergeseran yang tadinya dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari menjadi sesuatu yang mungkin pertanda baik bila kita berhasil memahami dan memanfaatkannya.

Sebagaimana Heidegger, ilmu psikologi modern melihat ada sisi baik dari ‘kebosanan’. Sebuah studi menyimpulkan bahwa kebosanan mendorong pencarian akan makna hidup, mendorong eksplorasi, dan menginsipirasi pencarian hal baru. Kebosanan membuat seseorang mempertimbangkan kembali apa yang mereka lakukan saat ini untuk mencari alternatif yang lebih bermanfaat, misalnya meningkatkan kreativitas dan kecenderungan prososial.

Saya sempet berpikir untuk apa saya menulis panjang-panjang tentang ‘kebosanan’, tetapi karena kebosanan pula akhirnya saya menulis artikel ini dengan tujuan,selain mengisi kebosanan dengan mempelajari hal-hal baru, juga sebagai referensi bagi siapapun yang membaca tulisan ini untuk dapat memahami dirinya ketika mengalami situasi membosankan yang mendalam.

kebosanan meningkatkan kecenderungan prososial.

Ditengah kebosanan pula pertanyaan-pertanyaan eksistensial kembali datang menagih untuk dijawab. Ditengah bisingnya kesepian dan hingar-bingarnya kebosanan yang melanda, pertanyaan hidup yang paling sulit untuk dijawab pun muncul:

Gue mau ngapain yak?

--

--