Bahasa Jerman dan Ikhtisar Perasaan

Adhimantara I. N
5 min readApr 12, 2020

Anyone who holds on to the ability to see beauty never grows old — Franz Kafka

Lukisan “Madonna di San Sisto” karya Rafaello Santi, di Dresden, Jerman

Kalian pernah berada di situasi harus mendeskripsikan sesuatu kepada orang lain seperti perasaan, atau keadaan? dan kalian kesulitan sendiri karena tidak menemukan padanan kata yang pas dalam Bahasa Indonesia?

Sama, saya pun.

Sebagai bagian dari generasi overthinker (cih, dunia fana!), terkadang saya suka kesulitan untuk menjelaskan apa yang saya pikirkan, maksud, ataupun rasakan. Saya perlu menjelaskan sampai 2–3 baris jika itu dalam bentuk tulisan, bahkan terkadang 1 paragraf hanya untuk mendeskripsikan sebuah perasaan. Bagi saya, Bahasa Indonesia kekurangan kosakata terutama kata-kata yang dapat mengekspresikan diri si pemakainya.

Di dalam bahasa Inggris kita mengenal istilah “Compound Words” atau kata majemuk. Definisi dari kata mejemuk sendiri adalah gabungan 2 kata atau morfem dasar yang jadinya memiliki makna baru dan sifatnya yang tidak bisa disisipi. Contohnya di dalam Bahasa Indonesia adalah “kacamata”, kata ini tidak bisa diganti menjadi “kaca pada mata” apalagi “kaca dari mata”. Selain itu kata majemuk juga tidak dapat ditukar posisinya, karena jika ditukar akan mengubah makna dari kata tersebut.

Kita semua setuju, bahwa Bahasa Indonesia itu indah, pemersatu bangsa, mudah untuk dimengerti dan lain sebagainya. Tetapi jika harus berkata jujur, selain indah, kosakata dalam Bahasa Indonesia itu ternyata sangat sedikit. Hasil googling saya menyatakan bahwa sampai pada tahun 2016, kosakata dalam Bahasa Indonesia itu hanya sekitar 100,000 kosakata, itupun terdiri dari kosakata serapan dari bahasa negara penjajah tanah Indonesia seperti Belanda, Portugis, Inggris, Spanyol, dan Jepang. Jumlah itu jauh sekali bila dibandingkan Bahasa Inggris yang mempunyai 1 juta kosakata.

Disitu saya baru menyadari kenapa sebaiknya jika mau membaca buku terutama yang terbitan negara barat misalnya, minimal kita membacanya yang versi Bahasa Inggris. Karena jika kita membaca dalam versi Bahasa Indonesia akan sulit memahami maksud dari sang penulis buku tersebut, terutama buku dengan genre sastra atau filsafat.

Jujur aja saya puas dengan kesimpulan yang saya dapatkan ini karena saya sebelumnya tidak pernah merasa puas waktu pertanyaan “kenapa baca buku yang versi bahasa inggris?” dijawab dengan “yaiyalah masa pake bahasa indo ngga keren banget”, karena menurut saya -yang bahasa inggrisnya dablek- orang macam ini adalah sebuah sepatu:”a shoe” atau asu.

Saya berkesimpulan buku-buku versi Bahasa Inggris memang bisa dibilang lebih komprehensif dibanding versi Bahasa Indonesia. Atas kesimpulan itu pula saya membaca buku-buku tentang pemikiran-pemikiran dalam Bahasa Inggris, dengan harapan memudahkan saya dalam menangkap esensi dari pemikiran sang penulis buku.

Tetapi ternyata saya tidak sepenuhnya benar, walaupun tidak sepenuhnya salah. Pada buku versi Bahasa Inggris yang saya baca pun mereka kekurangan kosakata ketika mengartikan compound words Bahasa Jerman. Mengingat tradisi pemikiran barat banyak datang dari filsuf Jerman, banyak buku-buku versi Bahasa Inggris tetap menuliskan Bahasa Jerman dikarenakan kurangnya kosakata dalam Bahasa Inggris yang tepat untuk mewakilinya.

Dari situ pula perkenalan saya dengan Bahasa Jerman dimulai. Selain berhasil menciptakan mobil yang dicintai banyak orang termasuk saya, bangsa Jerman juga secara jenius menciptakan kata-kata yang bisa mewakili ekspresi manusia secara detail. Bahasa yang selama ini tidak pernah menarik buat saya karena terdengar seperti orang marah-marah, justru dapat membuat saya berpikir secara mendalam dan liar hanya karena memikirkan sebuah kata dengan maknanya. Bahasa yang penulisan kata-katanya seperti typo atau salah ketik ini justru secara elegan mempunyai makna filosofis yang begitu mendalam. Setidaknya buat saya.

Untuk itu disini saya ingin berbagi tentang sebagian kecil dari banyaknya kosakata Bahasa Jerman yang menurut saya mempunyai makna filosofis mendalam:

  1. FERNWEH

Menurut Deutsche Welle (DW) Indonesia, “fernweh” dalam bahasa Indonesia berarti “sakit karena tidak berada di daerah yang jauh”. Tetapi menurut sahabat saya asal Jerman mengatakan “it means longing for a place far away that you feel drawn to, but you haven’t been there before”. Fernweh menggambarkan bagaimana perasaan yang kita miliki bisa menjadi begitu abstrak. Rasa rindu dan ingin bernostalgia kepada tempat yang belum pernah kita kunjungi menandakan bagaimana manusia seringkali tertipu oleh perasaannya sendiri.

2. ERKLÄRUNGSNOT

Butuh hampir 1 menit untuk saya menulis kata ini. Er·klä·rungs·not secara harfiah berarti “penjelasan tidak cukup”, tetapi kata ini mempunyai makna keadaan yang dirasakan seseorang ketika tertangkap basah diwaktu orang itu melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan. Tertangkap sedang masturbasi misalkan, atau pelintir-pelintir alat kelamin ketika upacara. Secara garis besar, Erklärungsnot adalah keadaan yang kita rasakan ketika kita sadar bahwa kita tidak mempunyai penjelasan-penjelasan untuk pertanyaan besar dalam hidup kita. Kata ini mendefinisikan kecemasan ektsistensi kita terhadap hal yang memalukan.

3. BACKPFEIFENGESICHT

Minta bat ditampol ni orang mukanya” mungkin itu kata-kata yang terlontar dari kita yang orang Jadetabek saat merasa begitu kesal dengan seseorang. Bangsa Jerman terkenal dengan sifatnya yang tidak suka basa basi. Mereka mengutarakan secara langsung apa yang ada di pikiran mereka dan mereka rasakan. Kebalikan dari sifat orang Indonesia yang muter-muter dalam mengutarakan perasaannya dan cenderung misuh-misuh dalam hati, orang Jerman memiliki istilah untuk keadaan dimana kita ingin meninju muka seorang bajingan; “backpfeifengesicght”.

4. FREMDSCHÄMEN

Yang berarti bersimpati terhadap kejadian memalukan yang dialami oleh orang lain. Berbeda dengan “Malu” dalam artian umum, Fremdschämen bukan disebabkan oleh keterlibatan si individu pada kejadian yang memalukan, tetapi lebih disebabkan karena menyaksikan secara verbal maupun visual kejadian memalukan yang dialami oleh individu lain. Fremdschämen merupakan pencapaian moral yang tinggi yang dimiliki seseorang dan menjadi akar bagi sebuah kebaikan antar sesama. Jadi ketika kamu juga merasakan malunya teman kamu yang eek di celana ketika di muka umum, disitu kamu merasakan fremdschämen.

5. WELTSCHMERZ

“Kesedihan dunia” dalam bahasa Indonesia. Sebuah kata yang menggambarkan bahwa kita sebagai manusia terkadang merasa sedih, bukan karena satu dan lain hal, tetapi lebih disebabkan karena eksistensi kita sendiri di dunia yang absurd ini. Perasaan melankolis dan pesimis akan hidup merupakan perasaan yang dirasakan oleh semua manusia, tetapi hanya orang Jerman yang mengikhtisarkannya kedalam sebuah kosakata.

6. KUMMERSPECK

Ketika saya masukan kata ini ke google translate Jerman-Indonesia yang keluar adalah “Daging Asap”. Kummerspeck adalah sebuah kata yang secara jujur mengakui bahwa seringkali kita merasa sedih, merana atau gundah dan tidak ada hal lain yang dapat mengobati perasaan kita tersebut selain pergi ke dapur dan makan. Sedari itu, ketika naiknya berat badan adalah hasil dari pelampiasan terhadap ketidakpuasan kita terhadap dunia, kita mengalami kummerspeck.

Dengan mengetahui betapa luas dan kayanya kosakata dalam Bahasa Jerman sedikit memberi ketenangan dalam hati saya. Kelegaan saya muncul dengan fakta bahwa saya bisa menyalahkan hal lain -seperti bahasa- terhadap kekurangan yang saya miliki; mengejawantahkan ekspresi diri saya kedalam kata-kata.

Hal itu pula lah yang membawa saya kepada keadaan pikiran bahwa mungkin selama ini kita kesulitan dalam mengutarakan perasaan, mungkin selama ini pasangan kita tidak berniat menjadi bisu ketika kita menanyakan tentang apa yang dialami olehnya, mungkin hal-hal seperti itu terjadi dikarenakan kekurangan kita dalam mengintepretasikan perasaan kita kepada lawan bicara.

Mendalami kata-kata diatas menumbuhkan perasaan yang aneh di dalam hati saya terhadap bahasa Jerman. “Aneh” dalam artian positif, perasaan asing yang mungkin cenderung terpesona atau mungkin jatuh hati terhadap istilah-istilah yang menggambarkan perasaan atau keadaan yang kita alami sebagai manusia dapat diikhtisarkan secara elok oleh orang Jerman.

--

--